Literasi Bagi Negeri


Bertepatan dengan bulan literasi internasional yang jatuh pada bulan September, Literasi di Indonesia akan selalu menjadi bahasan menarik. Dilihat dari arti katanya, literacy berarti kemampuan membaca dan menulis. Saya berkesempatan menjadi moderator dalam talkshow “Urgensi Literasi Bagi Negeri. Menyorot mengenai literasi, Ketika bahasa lisan dan tulisan terus berkembang sesuai kebutuhan hidup, yang menjadi masalah adalah ternyata kemampuan manusia untuk bisa mempelajarinya tidak secepat dari pekembangan bahasa itu sendiri sehingga muncul banyak persoalan karena orang tidak bisa berkomunikasi dan bertukar informasi secara optimal jika tidak bisa membaca dan menulis.

Faktanya, saat ini jumlah penduduk dunia yang buta huruf mencapai 774 juta jiwa, di mana 493 juta di antaranya adalah perempuan. Sementara di Indonesia, sebanyak 8,5 juta orang dinyatakan buta huruf, 5, 1 juta diantaranya adalah wanita (Daniel Keller, dalam bukunya Chasing Literacy 2015). Selain itu, data tentang pemeringkatan literasi internasional dari Central Connecticut State University pada Maret 2016 lalu menyebutkan bahwa tingkat kemampuan membaca dan menulis masyarakat Indonesia sangat ketinggalan, yaitu berada di urutan ke-60 dari total 61 negara. Indonesia hanya lebih baik dari Botswana Finlandia, Norwegia, Islandia, Denmark, dan Swedia sebagai lima negara dengan tingkat melek literasi terbaik di dunia.

Budaya membaca di Indonesia masih lemah. Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006 yang menunjukkan sebesar 85,9 persen masyarakat Indonesia memilih menonton televisi daripada mendengarkan radio (40,3 persen) dan membaca koran (23,5 persen). “Hasil sensus tersebut kian menegaskan, membaca dan menulis belum menjadi budaya bangsa kita. Masyarakat lebih suka menonton atau mendengar dibandingkan membaca apalagi menulis .

Hasil ini diperkuat oleh data statistik UNESCO yang dilansir tahun 2012. Data tersebut menyebutkan, indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, setiap 1.000 penduduk, hanya satu orang yang memiliki minat baca. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan. Bahkan Taufiq Ismail pernah membandingkan budaya baca di kalangan pelajar saat ini. Ia menyebutkan, rata-rata lulusan SMA di Jerman membaca 32 judul buku, di Belanda 30 buku, Rusia 12 buku, Jepang 15 buku, Singapura 6 buku, Malaysia 6 buku, Brunei 7 Buku, sedangkan Indonesia nol buku.
Taufiq Ismail menyebut kondisi ini dengan istilah “tragedi nol buku”, yaitu generasi yang tidak membaca satu pun buku dalam satu tahun, generasi yang rabun membaca, dan lumpuh menulis.

Namun harapan selalu ada. Berdasarkan data dari BPS bahwa Indonesia menempati urutan ke-3 dari 140 negara di dunia, sebagai negara tertinggi yang berhasil menurunkan jumlah angka tuna-aksara. Pada 2012 Indonesia menempati urutan ke-50 dan tahun 2013 menempati urutan ke-38 jumlah tuna-aksara terbanyak di dunia. Upaya-upaya membuat sebanyak mungkin orang bisa membaca dan menulis terus dilakukan. Di Indonesia sendiri, pemerintah menjalankan beberapa program untuk memberantas buta huruf. Program wajib belajar yang semula hanya sampai tingkat Sekolah Dasar, kini telah ditingkatkan sampai Sekolah Menengah Pertama. Belum lagi pihak-pihak selain pemerintah yang juga aktif membuat dan menjalankan program-program pendidikan baca tulis untuk anak-anak atau orang yang kurang mampu secara ekonomi lewat pendidikan-pendidikan informal. Muncul pertanyaan baru, apakah literacy itu maknanya hanya sekedar kemampuan membaca dan menulis saja? Nyatanya tidak.

Seiring dengan berkembangnya peradaban manusia dan semakin banyaknya orang yang bisa membaca dan menulis, literacy tidak lagi dimaknai sekedar memiliki kemampuan membaca dan menulis saja, tapi literacy juga berarti kemampuan seseorang memahami makna dibalik bacaan dan tulisan. Dengan kata lain tanggung jawab kita semakin meningkat seiring dengan tuntutannjaman yang terus berubah juga.

So..sudahkan Anda ikut berpartipasi dalam literasi bagi negeri ini? Jawaban Anda saat ini akan menentukan kondisi bangsa kita di masa mendatang..